Sejarah

Nasyiatul Aisyiyah adalah organisasi perempuan muda yang merupakan bagian dari Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan pada 28 Dzulhijjah 1349H, bertepatan dengan 16 Mei 1931 M di Yogyakarta. Nasyiatul Aisyiyah lahir dari gagasan Somodirdjo, seorang guru di Standart School Muhammadiyah, untuk memberikan wadah bagi remaja putri dalam mengembangkan potensi diri, kepemimpinan, dan keterampilan sosial, serta memperdalam ilmu agama. 

Bermula dari siswa praja (SP), Bapak sumodirdjo yakin bahwa perjuangan Muhammadiyah akan menjadi maju dengan adanya peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para murid, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmani. Maka pada tahun 1919, Bapak Somodirdjo atas bantuan dari murid Kiai Ahmad Dahlan yaitu Raden Hadjid mendirikan perkumpulan Siswa Praja (SP) Suronatan. Tujuan SP sendiri adalah menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama. Dibantu Raden Hadjid, gagasan ini mulai disebar di sekolah-sekolah Muhammadiyah sehingga kegiatan SP tidak hanya ada di sekolah Muhammadiyah Suronatan, tetapi juga di sekolah Muhammadiyah yang ada di ranting seperti Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota SP Pusat memberi tuntunan ke SP ranting-ranting.Karena semakin ramai peminat, dalam perkembangannya kegiatan dan keanggotaan SP setelah lima bulan berjalan mulai dipisah berdasarkan jenis kelamin.

Lahirlah Siswa Praja Prija (SPP) dan Siswa Praja Wanita (SPW). Kegiatan SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musala ‘Aisyiyah Kauman). Kegiatan SP Wanita adalah pengajian, berpidato, jama’ah subuh, membunyikan kentongan untuk membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan kewajibannya yaitu salat subuh, mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian. Pada perkembangannya kegiatan yang dilakukan SPW sangat pesat dan mulai tersegmentasi dan terklasifikasi dengan baik. Kegiatna-kegiatan mereka dianggap cukup berani, sebab apa yang dilakukan para perempuan untuk terjun berkhidmah di masyarakat saat itu dianggap tabu oleh jamaknya pemahaman awam. Lingkup kegiatan perempuan dianggap hanya boleh berkisar di antara kegiatan domestik yang diistilahkan sebagai “sumur, dapur, dan kasur”. Namun dengan munculnya SPW, sangat dirsakan manfaatnya untuk membekali wanita dan putri-putri Muhammadiyah dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan.

Transformasi Menuju Nasyiatul ‘Aisyiyah dimulai pada tahun 1923, SPW diintegrasikan ke dalam urusan ‘Aisyiyah. Integrasi ini membawa SPW ke tahap baru dengan mendirikan Bustanul Athfal pada 1924, taman kanak-kanak yang memberikan pendidikan dasar keislaman kepada anak-anak. SPW juga menerbitkan buku nyanyian berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja. Pada tahun 1926, kegiatan SP Wanita sudah menjangkau cabang-cabang di luar Yogyakarta, bahkan di luar pulau Jawa. Pada tahun 1929, Kongres Muhammadiyah ke-18 memutuskan bahwa semua cabang Muhammadiyah wajib mendirikan SPW, yang kemudian pada tahun 1931 diubah namanya menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah sesuai keputusan Kongres Muhammadiyah ke-20.

Pada perkembangannya, logo dan lagu mars NA diputuskan menyusul. Tepatnya pada Konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1938 di Yogyakarta dengan diputuskannya Simbol Padi sebagai simbol NA. Simbol ini menggambarkan keberlanjutan, kemandirian dan potensi perempuan muda yang terus tumbuh.Nyanyian Simbol Padi juga disusun sebagai Mars Nasyiatul ‘Aisyiyah guna menjadi penyemangat para kader putri Muhammadiyah. Hingga kini Nasyiatul ‘Aisyiyah tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan penuh semangat Nasyiatul ‘Aisyiyah terus melahiran kader-kader muda yang berdedikasi, aktif, dan inisiatif untuk mendukung terciptanya masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan sejatera.

Sumber : PP Nasyiatul ‘Aisyiyah Pusat, muhammadiyah.or.id, masjidmuhammadiyah.com